Thursday, February 09, 2006

'Freedom of speech'

Apakah kita pernah benar-benar bebas berbicara?
Kita bebas menuliskan apa saja di mana saja.
Tergantung medianya. Aku bebas memaki siapa saja di blog ku sendiri.
Tapi seperti hal lainnya, kebebasan itu juga berbenturan dengan konsekuensi.

Gak percaya?
Coba saja kamu menuliskan sesuatu yang terang-terang menyinggung orang lain di muka umum.
Kemana tempatmu?
Ke tempat sunyi yang bernama pengucilan.
Kalau kamu lebih terang-terangan lagi,
kamu akan pergi ke tempat berjeruji, penjara.
Kalau kamu melewati batas itu, kamu mungkin akan pergi ke ‘taman batu’ yang akan bertuliskan namamu sendiri.

Dan orang-orang masih melewati batas dan mempermainkan ‘api’ abadi.
Dan orang-orang masih keras kepala terhadap yang Maha Kuasa.
Dan orang-orang masih mengejek.
Dan orang-orang masih tidak peduli.

‘Be cautious of fire alarm, but be more afraid of eternal fire, for the garden of stone is not the end’.

Thursday, February 02, 2006

Mood for Italian's food








Di sebuah restoran Italia di pondok indah yang cukup punya nama, aku dan istri pesan Ravioli a la fiorentina dan Meat balls.
Waktu kita sampai di sana, aku mempunyai ekspektasi yang tinggi.
Sore yang cerah, sekitar jam setengah lima. Pesanan pertama adalah Macchiato.
Well, biasa aja kopinya. Tapi mereka memberikan Bruscheeta yang cukup membangkitkan selera. Gratis. Buat nunggu. Sehabis itu spinach & cheese salad datang.
Ekspektasi naik. Soalnya you can’t go wrong with this salad.
Sedikit olive oil dan vinegar. Semua beres.


Lalu datang lah main course nya.
Kita kecewa.
Meat balls dan garlic breadnya kelihatan mengundang selera. Tetapi suapan pertama biasa saja.
Aku tanya pada istri, Raviolinya enak?
Lumayan, katanya.
Tiga menit kemudian aku belum bisa menikmati makanan itu.
Dan istriku sudah hampir berhenti dengan Raviolinya.

Aku lihat ke sekeliling, beberapa orang asing datang.
Dan ada beberapa lagi yang sudah ada di sana.
Dari yang aku baca di majalah tentang restoran, tempat ini chef nya orang Italy, dan termasuk recommended.
Aku bingung.
Mungkin salah menunya ya.
Atau kita sebenarnya lagi gak mood dengan Italian food? Atau palate kita belum ter-develop untuk merasakan ‘The Real Italian’s Food?’
Bahkan aku merasa, Izzi Pizza was better than this.
Aku tidak bisa mendeskripsikan apa yang salah di menu ku;
Istriku bisa.
Dia bilang, rasanya bosan.Dia berhenti makan setelah seperempat piring ravioli.
Tidak ada keinginan untuk melanjutkan. Padahal diatasnya pakai saus daging dan Raviolinya isi keju.
Tidak ada dorongan untuk suapan berikut.

Aku ingat jaman dulu ketemu dengan Chef di Bale air.
Dia seorang teman. Dan dia masak Spaghetti pakai ang ciu.
Ang ciu itu adalah bumbu semacam rice wine sebagai penyedap di masakan cina.
Aku bingung setengah mati. Kenapa Spaghetti di jadiin Chinese gitu?
Dia bilang…lidah orang Indonesia udah kebiasaan sama yang sangat gurih. Kalau gak di tolong ang ciu, dia bilang Spaghettinya gak ‘nendang.’
Wah. Aku gak ngerti.
Mungkin ini maksudnya waktu itu. Ravioli dan meat balls menjadi membosankan.
Mungkin lidah kita harus belajar lagi. Dengan mencari tempat yang Ravioli dan Meat balls nya enak, untuk perbandingan. Any suggestion?
Seperti layaknya restoran yang baik. Pelayan bertanya di akhir, gimana masakannya?
Kita bilang, mungkin lain kali kita pesan menu yang lain.