Hanya berisi pikiran-pikiran yang pasti akan mati diterpa zaman. Meski tergoda untuk menuliskannya sebagai 'immortal thoughts', kita tahu semua akan mati dan berakhir. Jadi jujur saja. Ini hanya tulisan yang akan mati nantinya.
Thursday, September 18, 2008
Dunia Paralel Review, by Feby Indirani (writer of Simfoni Bulan)
Novel ini sampai di pangkuan saya tepat saat saya sedang memimpikan hal yang sama, Bahwa di luar dunia yang kita kenal saat ini ada dunia lain yang mengantarkan sepaket takdir yang berbeda. Bahwa di suatu tempat di luar sana, ada diri kita yang lain, yang tidak terpenjara tangan-tangan takdir yang sesungguhnya hanyalah konsekuensi dari pilihan-pilihan masa lalu kita. Cara berpikir khas para pemimpi, jika kita tak bicara dari probabilitasnya dalam sudut pandang fisika.
Dari ketakberdayaan itulah cerita Dunia Paralel beranjak. Vian seorang pembuat film dan Medy seorang penulis bertemu di bandara saat pesawat mereka sama-sama delay. Pertemuan singkat itu ternyata menggetarkan hati mereka, padahal mereka masing-masing sudah terpaut janji dengan orang lain. Keluasan imaginasi mereka sebagai pekerja seni membawa mereka mengkhayalkan dunia paralel, bahwa ada Vian dan Medy di dunia yang lain dalam kondisi yang memungkinkan segala sesuatunya bagi cinta mereka. Medy sesungguhnya yang pertama kali memiliki ketertarikan menulis novel tentang dunia parallel. Vian kemudian sepertinya tanpa disadari juga terobsesi untuk membuat film bertema sama setelah bertemu dengan Medy. Bisa jadi ini merupakan katarsis dari tak kuasanya ia mewujudkan asa dalam hidup yang sesungguhnya.
Cinta dan ketakberdayaan yang bersimpuh di hadapan keperkasaan takdir adalah mata air inspirasi yang tak pernah kering. Micki Mahendra berangkat dari titik itu. Ia melalui tokoh-tokohnya mempertanyakan kemungkinan dunia paralel itu betul-betul terjadi saat kenyataan terasa mencekik leher dengan segala keterbatasannya.
Sayangnya, pertanyaan tinggal pertanyaan yang tak pernah dieksplorasi lebih jauh. Dunia paralel kemudian memang hanya khayalan. Tadinya saya berharap bahwa Micki punya keberanian memadukan cerita cinta yang manis pahit ini dengan sudut pandang fisika yang mengeksplorasi berbagai kemungkinan. Tapi tidak, itu lagi-lagi hanyalah khayalan kosong para pemimpi.
Cinta terjalin antara Vian dan Medy dalam pertemuan yang singkat. Hal seperti ini umum terjadi dan selalu sulit dijelaskan. Ada kecocokan chemistry antara keduanya. Ada energi magic yang terjadi, semua lelaki dan perempuan dewasa yang pernah jatuh cinta pasti paham maksud saya. Tapi percakapan-percapakan yang terjadi di antara mereka justru terasa sangat pemukaan
Bisa jadi seharusnya inilah kelebihan novel. Micki mungkin bisa menceritakan apa yang dialami tokoh-tokohnya, aura keakraban yang tercipta dengan cepat di antara mereka. Micki sebetulnya punya kapasitas ini. Terlihat misalnya dari bagaimana ia bisa menceritakan kondisi bandara secara terperinci. Sebetulnya, gejolak perasaan tokoh-tokohnya bisa dieksplorasi lebih banyak lagi.
Beberapa tahun kemudian mereka berjumpa lagi ketika Vian tengah menyelesaikan scriptnya untuk film dunia paralel dan ia membutuhkan penulis pembantu. Rekannya, Aleta membawa Medy yang pernah menulis novel dengan tema serupa kepadanya. Seolah tangan takdir melemparkan mereka bertemu lagi.
Percikan api itu kembali menyala. Di sinilah sebetulnya peluang Micki untuk mengeksplorasi relasi Vian dan Medy lebih dalam. Apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan apalagi setelah mereka tiba-tiba bertemu kembali, apa sih sebetulnya yang terjadi dengan relasi mereka masing-masing? Apakah ada persoalan sehingga mereka merasa tak terpuaskan? Atau segala sesuatu berjalan terlalu mulus, sehingga mereka justru merindukan tantangan baru?
Sebagai pembaca, saya menunggu konflik yang cukup serius. Saya ingin dibuat yakin bahwa bangunan emosi di antara mereka berdua sungguh kuat sehingga kondisi itu memang dilematis, bukan sekedar riak kecil karena ketertarikan yang bersifat fisikal. Sayangnya, pengisahan relasi Vian dan Medy pun lagi-lagi terasa sangat di permukaan. Di antara mereka bahkan bisa dibilang tak ada percakapan yang cukup dalam, tak ada peristiwa yang cukup menggetarkan yang bisa membuat pembaca yakin bahwa cinta mereka bisa bertahan sampai akhir zaman. Meskipun saya mesti mengakui bahwa percakapan antara mereka berdua di malam terakhir itu memang bikin terharu, huhuhu. Dan sebagai orang yang pernah berada pada kondisi serupa, saya betul-betul bisa membayangkan apa yang mereka rasakan.
Selain itu, dunia paralel kemudian hanya jadi serupa tempelan dalam novel ini. Ia muncul sebagai wacana yang diungkapkan Medy kepada Vian tentang teori dunia paralel dari Max Tegmark. Dan itu sebetulnya bisa jadi jauh lebih menarik jika turunan teorinya betul-betul dileburkan dalam konteks relasi Medy dan Vian. Saya pun jadi mengkhayalkan, andai dalam buku ini pun ada beberapa skenario yang bisa terjadi di antara mereka. Ada Medy dan Vian yang melakukan pilihan-pilihan yang sama sekali berbeda dengan yang terjadi di akhir cerita (nggak mau nyebut ya, nanti spoiler hehehe). Bisa saja ada beberapa skenario yang dimunculkan. Dan pembaca bisa dibuat terkecoh beberapa kali karena tidak tahu skenario manakah yang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata Medy dan Vian.
Cerita ini sesungguhnya masih amat potensial untuk digarap dan dikembangkan lebih jauh. Dan saya melihat Micki memiliki kapasitas sebagai pencerita yang baik, sweet tanpa harus jadi mendayu-dayu dan telaten pada deskripsi. Saya merasakan ia memiliki bakat lebih dari pada yang sudah ditunjukkannya, kalau saja ia (dan tokoh-tokohnya) bisa lebih berani berkhayal, tanpa malu-malu.
Akhir kata, Ayo Micki nulis lebih banyak lagi yaaaa...
Micki: Thx Feb, I will write again.
My Finest Hours
These last few months were not my best months...
Ramadhan ini biasanya sering membuat kita melihat refleksi diri dengan lebih bening.
*betul gak tuh? kalo lebih bening bukannya refleksinya makin gak keliatan? lebih mantul kali ya, yang bener.....huaahh eniwey...
kerjaan lagi lesu, kreatifitas? lagi standar-standar aja...stress level? naik pelan-pelan..
uang? menipis pelan-pelan...huuu...
Kalo udah begini, biasanya aku ke supermarket, belanja bahan makanan, dan masak. Yeah...it's my comfort zone...
Doing groceries and cooking, ask my friend, they tell you the same thing.
Sementara masak, preparing food...aku sering berpikir, kenapa ya...why..? why its not as good as it used to be? why don't I have more money? (aku emang kalo berpikir biasanya pake bahasa ainglaish, meski ngaco)...sampe lama-lama pikiran negatif itu ilang dalam masakan..., setelah makan, hopefully positive thoughts will take over. Mungkin gak ya kali ini?
mmm..susah...tapi tunggu..
tahun ini aku membaca 3 buku dari Haruki Murakami yang membuatku semangat menulis lagi...aku dan teman-teman SMA ku kembali bikin band (the Most Untalented Band I ever known =))...tahun ini istriku insha Allah hamil anak ke dua...Baraka udah makin lucu dan belagu ajaa...
hey...I'm actually happy, it turns out to be my finest hours...
karena salah satu doa adalah meminta Allah untuk tidak menjadikan kami orang yang merugi, yaitu orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Tidak hanya urusan uang...urusan makan...tapi semua urusan dijadikan satu.
seorang bijak pernah berkata,"kumpulkan segala kegalauanmu, dan kembalikan pada yang punya",(Yes...He means gave it all back to Allah)
Jadi, I think my finest hours is yet to come. Look forward for it
yang maha esa
yang maha mebolak-balikkan hati
yang maha kaya
yang maha pemurah
yang maha...kuasa.
Subscribe to:
Posts (Atom)