Tuesday, May 16, 2006

Simfoni Bulan: Review


Di dalam setiap cerita, pasti ada sesuatu yang ‘stole the show.’ Yang artinya, sesuatu yang menarik simpati dan membuat audiens membicarakannya padahal dia bukan tokoh utama. Sesuatu dengan karakter, sesuatu dengan letupan dan percikan api dahsyat. Yang dapat menghidupkan api imaginasi dan kreasi di hati. Itulah yang kudapat dalam Novel perdana Feby Indirani ini: Simfoni Bulan. Melalui karakter Visya.

Setiap hendak memulai cerita baru, atau menulis apa pun juga, selalu terbersit pikiran, mampukah aku melahirkan karakter seperti itu? Akh mungkin gaya ku beda. Jangan sama kan aku dengan Feby. Dan kemudian terbersit lagi, apakah itu hanya justifikasi saja? Aku menyukai buku Simfoni Bulan bukan hanya karena Visya. Tetapi karena…apa?

Plot. Ditata sedemikian rupa sehingga aku bisa terbawa di dalamnya. Tentu, meski hanya perlu 3 jam aku menyelesaikannya. Tapi itu dosis yang tepat untuk terbuai didalamnya. Semua bermulai dari kalimat ini:

Siapa yang berani mengatakan menjadi pelacur itu mudah?
Kemarilah. Aku ingin sekali meludahinya. Sekarang. Saat ini juga. (Aku tersenyum ketika membaca ini. Mau jadi Ayu Utami?)

Ini adalah cerita tentang seorang wartawan, yang keluar dari tempat kerjanya untuk menyelesaikan novel. Namun ia kekurangan impuls kreatif, novelnya tak kunjung selesai tertulis.

Kemudian cerita terus mengalir, kembali ke kejadian sebelumnya, saat Bulan, sang tokoh utama, memutuskan untuk menjadi pelacur, demi sebuah proses penulisan novel dengan metode mengalami. Kemudian diceritakan juga bagaimana Bulan bertemu Visya, sang novelis fenomenal dengan 'sedikit aliran darah setan ditubuhnya'. (Istilah ini hanya rekaanku saja, merujuk ke sisi gelapnya karakter ini.) Disinilah terjadi point of no return, di mana Bulan ‘diajarkan’ untuk melakukan proses mengalami sehingga bisa menghasilkan tulisan yang bagus. Tidak berpura-pura jadi, tetapi benar-benar menjadi. (Nice one, Feb.)

Tengah-tengah buku, aku merasa Feby lebih baik dari Ayu Utami. Tapi itu adalah pandangan pribadiku. Orang boleh tidak setuju. Terus terang aku takut dengan kevulgaran kalimat-kalimat Ayu Utami, meski aku mengakui buku beliau adalah fenomenal, termasuk buku pertama yang membuatku melirik sastra Indonesia.

Tetapi aku menemukan dosis yang pas buatku di buku Feby. Dosis campuran antara kegelapan dan pencerahan. Tentang kehidupan para pelacur, kehidupan para penulis, perjalanan plot dari kegelapan Kramat Tunggak ke penyucian di Varanasi, India.

Tak usah terlalu berpikir, baca saja buku ini, biarkan dirimu terbawa dengan plot yang dirancang dengan bagus dan dibawakan oleh karakter-karakter yang kuat.

Dan ketemu aku di ujung sana. Kita akan bicara lagi. Setelah titik terakhir di kalimat Febi mampir di matamu. Kita akan bicara lagi mengenai novel ini.

Simfoni Bulan;
Penulis: Feby Indirani;
Penerbit: Media Kita;
Editor: A.S Laksana


Thursday, May 11, 2006

Sup Betawi Berkah



Suatu saat seorang teman mengajak makan di sebuah warung kecil bertulisan "Berkah."
Tempatnya biasa-biasa aja, seperti warung makan pada umumnya. Bahkan kalau gak diajak teman, aku nggak mungkin tahu ada warung makan itu di muka bumi ini. Terletak di pinggir tol simatupang, ke jalan kampung yang tembus ke kuburan jeruk purut.
Di meja telah ditaruh banyak cemil-cemilan, pelengkap makanan utama seperti emping yang gedenya sepiring, tahu, tempe, kerupuk dan lain-lain.
Mata pasti ngelihat yang emping segede piring dong...
Makannya gimana ya?
ternyata berdasarkan contekan dari meja sebelah, emping yang gede ini diremek bersama plastiknya sehingga ketika kita buka jadi emping kecil-kecil...woww...nice...
Trus untuk makanan utamanya...sup daging berkah.
Cuma ada dua menu, gede atau kecil.
Ketika datang, sup bening kemerahan ini diisi dengan tulang-tulang berbalut daging yang berenang-renang di antara daun bawang. Ok...kayaknya cukup layak di coba.
Terus, seruput kuahnya.
Gurihnya minta ampun. Mungkin karena memang seluruh daging ini direbus lama dengan tulang dan sum-sum kali ya...tambah sambel sedikit. Sempurna.
Ok, aku belum mau menyentuh dagingnya...dandanin nasi dulu kali ya...sedikit kecap di atas nasi, sedikit jeruk nipis di kuah sup. Baru aku lanjut ke dagingnya.
Dengan sendok, aku mengambil dagingnya dari rekatan tulang besar itu. Wahh...gampang banget lepasnya..hmm..menarik.
Terus, masukin daging itu kemulut, ...aku takjub dengan daging se-empuk ini.
Karena empuk, di antara serat-serat daging, resapan kaldu sapinya terasa sekali. Belum lagi sum-sum yang masih tampak di tulang menambah kenikmatan.
Kenikmatan yang membedakan sup daging berkah ini dengan sup-sup daging lainnya.
Kenikmatan yang bisa membuatku kangen dengan masakan ini.