Monday, December 18, 2006

Dunia Paralel di PIM Gramedia


Sayang apabila dilewatkan,
gak nyangka di taruh di sebelahnya Leo Tolstoy's - Anna Karenina
hehehehe
lucu juga para pegawai di gramedia..

Monday, November 27, 2006

Kejebak Batak: Lele asap ala Padang Sidempuan



Sebenarnya kejadian ini bermula gara-gara aku salah masuk restoran.
Pada suatu sore, bosen memakan masakannya Restoran Sederhana, aku masuk ke sebuah restoran ber cat merah di jalan Veteran Bintaro. Tulisannya rumah makan padang sidempuan, gitu.
Turun dari mobil, langsung nyerocos,
"Mas, buatin satu dong, kapau."
Nah, kalo sering ke restoran padang, nasi kapau itu adalah nasi bungkus yang dicampur sama lauk. Mustinya ngerti dong, orang kupikir ini restoran padang.
Eh dia bilang,
"Pake nasi gak?"
Lho?
Ternyata, padang sidempuan itu sama sekali bukan padang. Malah ini adalah masakan medan sebenernya. Jadi malu. Pantesan kok logatnya beda.
Kepalang tengsin, tanya-tanya deh makanan kas Medan alias batak ini. Trus ditunjuklah teri medan, ah jamak, sering...trus ditujuklah sayur singkong cacah, ahhh..sayur, makanan kelinci...trus ditunjuklah lele asap. Nah, ini dia yang menarik. Apa itu lele asap? ya Lele di asepin, trus di kasih kuah kayak kuahnya gule ayam padang. Hmm...menarik, terlebih karena biasanya aku tidak pernah makan sesuatu yang tidak berbentuk asli. Tapi aku masih bisa mengenali buntut lele di masakan ini, jadilah kupesan satu.
Aroma makanan ini, langsung meledak ketika kita memasukan daging lele dan kuahnya ke mulut. Smokeyy...sedap banget.
Kayak apa ya, smoked salmon, bandeng asep? Tau kan rasa-rasa asap itu? Malah daging lelenya tidak terasa seperti pecel lele. Apa ya, lebih keras, kayak daging, tapi ada aroma asapnya. Hmm. Menarik.
Makanan ini merupakan salah satu favoritku sekarang, rasa asap yang membedakan, dan paduan kuah gule yang cukup light, seperti saling melengkapi di mulut. Ditambah nasi panas dan kerupuk warna. Satu lagi pengalaman kuliner yang berharga.

Tuesday, November 21, 2006

Another day Another Dream =)




Kalau kamu ngikutin blog ini dari awal, which I doubt it...
kamu akan tahu kalau impianku adalah buat film, menulis dan menerbitkan novel, dan menjadi chef.
Read: Mau Apa?
Dua yang awal sudah kejadian...meski baru film pendek, dokumenter dan sebuah novel aku sudah bersyukur...
dan kemarin tanggal 18 Nov 2006, satu terkabul..yang terakhir.
Kemarin adalah saat pertama aku dibayar untuk memasak.
Adalah Gevulde kip atau ayam kodok , yang dipesan seorang teman untuk merayakan kepindahannya ke apartemen barunya. Thanks Glenn =)
Meski belum dan jauh dari punya restaurant, sangat terasa enak ketika masakan kita di bayar dan di hargai - meski baru di skala pesanan individual oleh seorang teman baik
=)
felt good.
Semua kukatakan jauh dari kesombongan - semoga, namun penuh rasa syukur..

Monday, November 06, 2006

Control is illusion




Aku pernah baca dan mendengar bahwa kontrol adalah ilusi.
Seberapa akurat pernyataan ini?

Gini, tadi waktu olah raga pagi naik sepeda, banyak banget mobil dan motor ber seliweran di daerah bintaro. Sampe-sampe gak seger lagi, yah tapi lumayan, namanya orang cari keringat...anyway, banyaknya mobil yang buru-buru ngejar setoran hari senin itu, membuat aku berpikir naik sepeda udah gak aman. Kesenggol dikit bisa 'selesai.'

Trus pikiranku melayang ke puluhan tahun lalu, atau belasan kali yee...kayaknya udah tua banget kalo puluhan. Yaitu ke film "Days of Thunder," yang di maeinin Nicole Kidman dan Tom Cruise.
Di sini ada salah satu adegan yang menyatakan, kurang lebih, udah agak lama, sebenernya aku gak yakin ini film itu atau kehidupan nyata ku sendiri ya, agak-agak blurry sih..
nah dia bilang gini: Mankind itu selalu obsess sama kontrol. Padahal kontrol itu ilusi. Kita bisa aja melakukan persiapan yang matang untuk segala hal, tapi tetep aja hasilnya beda. Contoh, meski kita ngecek mobil kita, rem, mesin dll, tetep aja kalo emang harus tabrakan ya tabrakan..jadi kontrol itu 'Nothing." So, why bother.
(Kayaknya emang film deh, kecuali ternyata kalau aku kenal sama Nicole Kidman)

Mungkin pernyataan di atas perlu di lengkapi lagi...kontrol memang ilusi, kepada hal-hal eksternal seperti tadi...(ketabrak mobil, kesambar ikan terbang, ketabrak tawon dll) tapi untuk perasaan dan nafsu, kayaknya harus bisa deh...ok, kita akan gagal berkali-kali, tapi yang diitung mungkin bukan keberhasilan, tapi usaha..bener gak? tau deh..gue sih mikirnya kayak gitu, kalo usahanya udah bener juga Insha Allah di benerin...

So, i really do believe control about external thing is impossible, it's only an Illusion...bahkan mungkin internal control is no different...kan ada yang Maha Membalikan Hati.
Harap-harap cemas aja takdir kita baik, dan bersyukur...
ya bersyukur, jangan gak tau diri, mentang-mentang segalanya udah di atur..
=)
Peace yo!

Friday, October 06, 2006

"One for all"

Beberapa waktu yang lalu, aku mengalami makan malam yang 'tak biasa.' Makan malam ber jama'ah. Alias sepiring rame-rame.
Kalau kita lihat sepintas, kayaknya kok jorok ya. Tapi disini kita malah belajar yang namanya Adab.


Kenapa bisa begitu?
Karena, ketika kita duduk bersama-sama teman dan menikmati hidangan, timbul perasaan tidak enak kalau tangan kita kotor, tidak enak kalau tangan kita jorok, tidak enak kalau kita cara makannya berlebihan.
Sebagai bonus, lucunya, makanan tidak pernah terasa kurang apabila dimakan dengan cara seperti ini.
Pengalamanku ini gak jadi hal yang menyedihkan seperti lagu dangdut jaman dulu. Sepiring berdua =).
Bahkan sehabis pengalaman ini, aku melihat makan ber jama'ah ini adalah suatu pengalaman yang indah. Dimana adab orang dapat disempurnakan. Dimana kelakuan seseorang harus memperhitungkan kepentingan dan kesopanan terhadap orang lainnya.
Dimana seseorang harus memilih, dimana dia akan duduk. Are you amongst the one that you trust&love? or not?! (Bukan kaya atau miskin, ganteng atau jelek, tapi percaya atau tidak)

Monday, August 28, 2006

Dunia Paralel = Steak Mushroom Sauce

Oleh: Mira Tulaar, Radio Host - HardRock FM Powder Room






Baca "Dunia Paralel' kayak nonton film. Gaya berceritanya deskriptif banget, sampe warna cahaya lampu aja digambarin..

Persamaan masakan Micki sama 'Dunia Paralel' adalah : sama-sama enak dinikmatin hehehe..

Thanks for the book and the delicious steak with mushroom sauce, Mick. Tunggu review bukunya di Powder Room ya!

P.S: true love doesn't have a happy ending, because true love doesn't have an ending! :)

Thursday, August 03, 2006

Dunia Paralel: Success to brought emotion and bring readers to feel it

Oleh: Merissa Santoz, Creative, Wunderman ID


Alurnya yang gw suka.. nggak basi bacanya..
eventhough belakangannya agak cepet ketebak ending nya..tapi u success to brought the emotion..
the story itself juga very simple, banyak kita temuin di sekitar.. which is menurut gw elo hebat aja bisa ngangkat cerita yang mungkin udah biasa kita denger di telinga tapi kadang nggak kepikiran kalo sampe kita yang ngalamin kayak gitu gimana...
and u bring the readers to feel it..
tapi yang dasyat JUDULNYA dooongg!!!!!
pertama kali gw pikir nih buku SCIENCE FICTION.... and it turn out to be one hell of LOVE STORY!!!!! nice mik...
lu tipu orang orang kimia-fisika yang kacamataan, buat mau ngebaca gituan...(daripada baca rumus mulu!!!!)

Dunia Paralel: Nice one!


Oleh:
Keke Husain, Copywriter DDB Brainstorm


Setau gue, buku yang bagus adalah buku yang bisa ngegambarin sebagian besar isi buku dari judulnya. Gue rasa, Micki Mahendra udah dapet point positif di sini. Judul yang dipilih cukup ngundang keingintahuan buat ‘mengarungi’ isinya.


Slice of life banget sih ceritanya, dimana ada seorang cewe, Vian, secara engga’ sengaja ‘terdampar’ di airport dengan Medi, cowo’ yang dengan instant mencuri hatinya. Mereka berdua sama-sama tertarik sama yang namanya Dunia Paralel, dunia dimana ceritanya laen banget sama cerita di dunia ini. Yang satu tertarik buat difilemin, yang satu mau dibukuin. Sampe pada akhirnya mereka ketemu lagi di waktu yang lain dan masih dengan mimpi yang sama, hidup bersama di Dunia Paralel. Menarik.

Bercerita tentang kehidupan sehari-hari bakal kerasa basi kalo aja yang nyeritainnya ga’ punya sisi pandang yang laen. Sekali lagi, Micki Mahendra memiliki point plus. Caranya bercerita, dengan alur maju mundur, tidak membuat pembaca mati kebosenan. Cerita menuju klimaks berjalan lambat tapi pasti, sayang, akhir cerita terlalu dibuat buru-buru dan membuat pembaca semakin mudah menebak akhir cerita.

Dan satu lagi... Cerita tentang minuman ini dan itu berserakan di buku ini. Kalau jeli, ada sekitar 15 macam minuman berbeda loh di sini. Coba itung!

Intinya sih, dalam hidup itu ga’ bakal ada ‘Control Z’, there’s no turning back. Jadi, jangan pernah takut ambil resiko se-rebel apapun itu demi ngikutin kata hati.

Nice book, Mick!

K e K e W r i T e R

http://piecesofmosaic.blogspot.com

Wednesday, June 28, 2006

Dunia Paralel : sebuah mimpi kehidupan linier asimetrik






Oleh: Nurman Priatna
Copywriter Ogilvy & Mathers, Moderator Bunga Matahari, Poet


Micki Mahendra, sahabat saya sesama pemimpi dan penulis, meluncurkan novel pertamanya "Dunia Paralel". Salut, adalah hal yang pertama saya sampaikan, akhirnya pecah juga telur karirnya di bidang sastra.

Lalu apa? Awalnya, saya hanya ingin jadi penikmat kata-kata belaka. Tapi karena diminta secara pribadi, terlebih karena buku untuk saya adalah novel pertama yang Micki tandatangani, jadilah saya belajar untuk mengulas buku untuk yang pertama kali.

Tema yang diangkat Micki sebenarnya sangat sederhana; tentang cinta. Dalam novel ini, cinta yang dikisahkan adalah cinta yang terbatas ruang dan waktu.

Tokoh utama, Vian, sutradara wanita muda yang sedang menggarap film cerita pertamanya. Suatu hari ia terjebak di bandara karena penerbangannya ditunda. Saat itu hidupnya bertabrakan dengan Medi, seorang penulis novel yang juga tertunda keberangkatannya. Pertemuan hari itu berkesan, namun mereka berpisah menuju tujuan masing-masing. Tahun berikutnya mereka bertemu lagi dan baru lah cerita cinta mereka bergulir.

Konsep "Dunia Paralel" adalah pemikiran yang ditawarkan novel ini. Miris ketika akhirnya kedua kreator film tersebut adalah mereka yang mencoba percaya bahwa di dunia paralel itu, cinta mereka bisa kesampaian. Sayangnya konsep yang menarik ini tidak benar-benar digarap sebagai sentral cerita.

Cara bertutur Micki yang menggunakan alur mundur-maju rasanya cukup baik, cukup sederhana dan tidak mengganggu jalannya cerita. Pilihan kata-kata yang ringan sepertinya cukup efektif, tak terlalu banyak bunga-bunga namun tetap puitis di banyak bagian. Dinamika penulisan cukup asyik, karena cara Micki membuka satu kejutan ke kejutan lainnya terasa cukup halus tapi tetap menggigit, terutama menjelang akhir.

Struktur logika novel ini rasanya cukup baik, namun saya mempertanyakan sedikit mengenai ide “Dunia Paralel” yang sebenarnya milik Medi, sebagaimana diceritakannya kepada Vian di awal cerita. Tapi setahun kemudian justru Vian yang menggarap film bertema tersebut, dan Medi bersedia membantu pengembangan naskahnya tanpa merasa keberatan. Kalo saya sih, mungkin sudah merasa kecolongan secara intelektual. Boro-boro membantu, malah bisa-bisa saya tuntut si Vian itu. Hehehe.

Sebagai novel pertama, saya rasa Micki bisa tampil dengan gaya penulisannya sendiri. Kalem dan santun, seperti orangnya. Sejauh ini kesan akhir yang saya dapatkan dari novel ini, masih terasa “aman”. Tapi saya yakin masih banyak kejutan yang ia simpan di dalam kepala dan komputernya. Mungkin ia simpan untuk novel-novel berikutnya.
Selamat sekali lagi Mick, membacanya saya merasa bangga sekaligus terhibur. :)

Salam,
Nurman

Thursday, June 08, 2006

Dunia Paralel




Alhamdullilah akhirnya novel ini terbit pada bulan Juni 2006.

Sebuah cerita tentang cinta dan pilihan. Cinta di waktu dan tempat yang keliru. Tetapi ada dunia lain, waktu dan tempat lain untuk membenarkan yang keliru.


Terima kasih untuk semua yang telah mengisi gudang ingatanku, sehingga buku ini bisa jadi seperti apa yang tercetak sekarang ini.
Terima kasih

Tuesday, May 16, 2006

Simfoni Bulan: Review


Di dalam setiap cerita, pasti ada sesuatu yang ‘stole the show.’ Yang artinya, sesuatu yang menarik simpati dan membuat audiens membicarakannya padahal dia bukan tokoh utama. Sesuatu dengan karakter, sesuatu dengan letupan dan percikan api dahsyat. Yang dapat menghidupkan api imaginasi dan kreasi di hati. Itulah yang kudapat dalam Novel perdana Feby Indirani ini: Simfoni Bulan. Melalui karakter Visya.

Setiap hendak memulai cerita baru, atau menulis apa pun juga, selalu terbersit pikiran, mampukah aku melahirkan karakter seperti itu? Akh mungkin gaya ku beda. Jangan sama kan aku dengan Feby. Dan kemudian terbersit lagi, apakah itu hanya justifikasi saja? Aku menyukai buku Simfoni Bulan bukan hanya karena Visya. Tetapi karena…apa?

Plot. Ditata sedemikian rupa sehingga aku bisa terbawa di dalamnya. Tentu, meski hanya perlu 3 jam aku menyelesaikannya. Tapi itu dosis yang tepat untuk terbuai didalamnya. Semua bermulai dari kalimat ini:

Siapa yang berani mengatakan menjadi pelacur itu mudah?
Kemarilah. Aku ingin sekali meludahinya. Sekarang. Saat ini juga. (Aku tersenyum ketika membaca ini. Mau jadi Ayu Utami?)

Ini adalah cerita tentang seorang wartawan, yang keluar dari tempat kerjanya untuk menyelesaikan novel. Namun ia kekurangan impuls kreatif, novelnya tak kunjung selesai tertulis.

Kemudian cerita terus mengalir, kembali ke kejadian sebelumnya, saat Bulan, sang tokoh utama, memutuskan untuk menjadi pelacur, demi sebuah proses penulisan novel dengan metode mengalami. Kemudian diceritakan juga bagaimana Bulan bertemu Visya, sang novelis fenomenal dengan 'sedikit aliran darah setan ditubuhnya'. (Istilah ini hanya rekaanku saja, merujuk ke sisi gelapnya karakter ini.) Disinilah terjadi point of no return, di mana Bulan ‘diajarkan’ untuk melakukan proses mengalami sehingga bisa menghasilkan tulisan yang bagus. Tidak berpura-pura jadi, tetapi benar-benar menjadi. (Nice one, Feb.)

Tengah-tengah buku, aku merasa Feby lebih baik dari Ayu Utami. Tapi itu adalah pandangan pribadiku. Orang boleh tidak setuju. Terus terang aku takut dengan kevulgaran kalimat-kalimat Ayu Utami, meski aku mengakui buku beliau adalah fenomenal, termasuk buku pertama yang membuatku melirik sastra Indonesia.

Tetapi aku menemukan dosis yang pas buatku di buku Feby. Dosis campuran antara kegelapan dan pencerahan. Tentang kehidupan para pelacur, kehidupan para penulis, perjalanan plot dari kegelapan Kramat Tunggak ke penyucian di Varanasi, India.

Tak usah terlalu berpikir, baca saja buku ini, biarkan dirimu terbawa dengan plot yang dirancang dengan bagus dan dibawakan oleh karakter-karakter yang kuat.

Dan ketemu aku di ujung sana. Kita akan bicara lagi. Setelah titik terakhir di kalimat Febi mampir di matamu. Kita akan bicara lagi mengenai novel ini.

Simfoni Bulan;
Penulis: Feby Indirani;
Penerbit: Media Kita;
Editor: A.S Laksana


Thursday, May 11, 2006

Sup Betawi Berkah



Suatu saat seorang teman mengajak makan di sebuah warung kecil bertulisan "Berkah."
Tempatnya biasa-biasa aja, seperti warung makan pada umumnya. Bahkan kalau gak diajak teman, aku nggak mungkin tahu ada warung makan itu di muka bumi ini. Terletak di pinggir tol simatupang, ke jalan kampung yang tembus ke kuburan jeruk purut.
Di meja telah ditaruh banyak cemil-cemilan, pelengkap makanan utama seperti emping yang gedenya sepiring, tahu, tempe, kerupuk dan lain-lain.
Mata pasti ngelihat yang emping segede piring dong...
Makannya gimana ya?
ternyata berdasarkan contekan dari meja sebelah, emping yang gede ini diremek bersama plastiknya sehingga ketika kita buka jadi emping kecil-kecil...woww...nice...
Trus untuk makanan utamanya...sup daging berkah.
Cuma ada dua menu, gede atau kecil.
Ketika datang, sup bening kemerahan ini diisi dengan tulang-tulang berbalut daging yang berenang-renang di antara daun bawang. Ok...kayaknya cukup layak di coba.
Terus, seruput kuahnya.
Gurihnya minta ampun. Mungkin karena memang seluruh daging ini direbus lama dengan tulang dan sum-sum kali ya...tambah sambel sedikit. Sempurna.
Ok, aku belum mau menyentuh dagingnya...dandanin nasi dulu kali ya...sedikit kecap di atas nasi, sedikit jeruk nipis di kuah sup. Baru aku lanjut ke dagingnya.
Dengan sendok, aku mengambil dagingnya dari rekatan tulang besar itu. Wahh...gampang banget lepasnya..hmm..menarik.
Terus, masukin daging itu kemulut, ...aku takjub dengan daging se-empuk ini.
Karena empuk, di antara serat-serat daging, resapan kaldu sapinya terasa sekali. Belum lagi sum-sum yang masih tampak di tulang menambah kenikmatan.
Kenikmatan yang membedakan sup daging berkah ini dengan sup-sup daging lainnya.
Kenikmatan yang bisa membuatku kangen dengan masakan ini.

Saturday, April 01, 2006

Saus Padang yang paling pas


Mungkin kalau aku akan dikirim ke Mars dengan pesawat antariksa yang belum pernah teruji, dan aku mendapat kesempatan untuk memilih makanan - makanan terakhir. Menu ini pasti ada.
Kerang hijau saus padangnya santai malam alias 1001 malam di kelapa gading.

Kerang hijau paling dashyat.
Ledakan rasa di lidah.
Bayangin ya...saus padang yang pedesnya pas, dan kerang hijau segar, yang entah bagaimana, dimasak sangat 'crispy,' tapi tidak terlepas dari kulit kerang hijaunya.
Jadi, baluran pedasnya saus padang yang menyelimuti kerang garing ini, pas banget masuk ke mulut dengan nasi hangat. Kalau kamu berani, seruput sausnya dari kulit kerang. Dijamin lebih dari satu nasinya.
Terus, pas pedes-pedesnya, diobatin sama es kelapa muda. Wow...kayak abis dari africa ke islandia. Segar sekali.
Mungkin kerang ini garing karena diolesi sedikit telur kali ya, gak tau deh, kalau ada yang tau cara bikin kerang hijau saus padang yang crispy gini, ajarin dong.

Selain kerang saus padangnya, kepiting saus padangnya juga gak kalah fenomenal.
Tapi menurutku, signature dish tempat ini adalah kerang garing saus padang.
benar-benar tak terlupakan.

Perang lawan diri sendiri

Hanya aku dan lapangan rumput.
Ditemani begitu banyak bola kecil.Dan mulailah perang melawan diriku sendiri.

Gak menang.

Lebih baik bersahabat dengan diriku sendiri.

Sunday, March 12, 2006

Singaporean Surprise

Satu lagi surprise di PIM 2.

Tepatnya di Southwalk, lt 3.
Tertarik dengan tulisan “Screw French Press, we got socks,” aku mampir mencoba coffee stall yang katanya sudah ada dari tahun 1944 di negaranya. Maklum, aku adalah pengguna french press yang setia di rumah.
Ya Kun Kaya Toast – dari Singapura.
Ini adalah salah satu kedai kopi yang sama sekali tidak menggunakan espresso machine yang mahalnya selangit, tapi tetap memberikan kenikmatan kopi tersendiri.
Aku memesan kopi susunya.
Buatnya lucu.

Kopi di taruh dalam saringan panjang seperti kaos kaki di dalam ceret stainless,
lalu di beri air panas.
Setelah itu, cangkir yang sudah di isi dengan susu kental manis dituangkan dengan kopi.
Rasanya? Salah satu kopi terbaik yang pernah aku minum.

Rasanya mirip dengan kopi Vietnam.
Pertama datang seperti black coffee, hitam.

Diaduk sedikit, baru warna kremnya muncul.
Benar-benar surprise. Kalau aku tidak melihat cara

pembuatannya, mungkin sudah protes, “kok di kasih yang black sih mas!” untungnya aku lebih sopan dari itu. =)

Ada minuman yang juga merupakan campuran teh, kopi dan susu. Buatnya ditarik-tarik, seperti teh tarik. Rame’ deh =) Apalagi ceret baristanya mempunyai leher panjang. Kayak di film-film budaya Cina dulu.
Setelah itu semua di campur. Kopi, teh, susu dan es.

Hasilnya mungkin bisa membuat Sting mengganti lirik: don’t drink coffee I take tea my dear =), saking surprisenya rasa.



Well Mister Sting, here’s your coffee - tea plus milk. ;P

Ada lagi?
Ada.

Toast nya itu enak banget.
Mejaku punya dua menu. Kaya toast (selai srikaya dan butter) dan sugar butter.
Roti ini canggih sekali rasanya.
Antara biskuit dengan roti toast.
Warnanya aja coklat menggoda.
Digigit crunchy, tapi gak se-crunchy bagelen, jadi masih lembut roti juga.
Trus mau yang buttersugar atau pun kaya toast, menurutku ini adalah toast yang terbaik yang pernah ku makan. =)

Sayangnya pas tanya bikin rotinya gimana, mas-masnya juga gak tau. Dia cuma bilang, dating dari suppliernya udah gini. Damn!!
Padahal ini roti enak banget, banget, banget.

Yahh..mungkin emang kalo aku lagi kepingin kaya toast ini emang harus ke sini. Belum di ijinin nyontek resep sih. Mungkin beberapa kunjungan lagi aku berhasil menggali lebih dalam.

Kedai ini memberiku inspirasi bahwa untuk membuka sebuah coffee stall yang menyediakan kopi yang enak, tidak melulu perlu mesin espresso La Marzocco atau pun La Cimbali yang mahal.
Cukup pengetahuan tentang memasak kopi yang baik. Dan tentunya, sedikit aksi tarik-menarik yang bisa menghibur konsumen.

Thursday, March 09, 2006

Chocolate Comfort


Waktu itu sore-sore sekitar jam 4.
Jakarta lagi bersinar cerah-cerahnya, bagus deh.
Langit biru, awannya bertekstur tebal.

Tapi kita kedinginan. Karena waktu itu lagi berada di PIM 2 yang AC nya delapan puluh biji sejengkal di atas kepala (ini jelas-jelas hiperbola ya)

Terus di jembatan SouthWalk lt 3, kita melihat suatu tempat yang sangat menggoda untuk disatroni.

Judul tempat itu adalah “Death by Chocolate


Mampir gak kamu kalo ngelihat tulisan kayak gitu?
Aku sih mampir.
Aku pesen minuman coklat panas hazelnut dan sandwich.
Istriku pesan Banana Split versi mereka.

Hot chocolatenya lumayan. Meski tidak sekental dan se-impresif La telier du Chocolate di bilangan Kemang.
Sandwichnya. Standar.
Tapi yang menjadi fokus kita di sini adalah si banana split ini.

Hebat.
Presentasinya bagus, bentuknya menghibur dan rasanya enak.
Pisangnya di balur dengan gula bening yang keras. Jadi waktu kita pakai garpu untuk memotong pisang, gula bening ini retak-retak seperti permukaan es tipis. Seru gak?
Menu ini juga pakai sesuatu seperti bubuk kopi untuk melapis es krim yang di bagian dasar yang juga ditemani dengan krim coklat.
Di atasnya ada vanilla ice cream, ditusuk dengan minty chocolate stick.
Ditabur serbuk gula, dan..coklat cair.
Wah..pokoknya kalau lagi bete atau lagi marah-marah dan lain sebagainya, dan butuh sesuatu untuk ‘benerin’ hari kamu. Tempat ini layak dicoba.

Kata orang, coklat bisa ngapusin semua kegalauan hati. Bener gak?

Buktiin aja.

Coffee Sumatera

Coffee Sumatera – Mandheling

Kira-kira sebulan lalu French press ku pecah.
Senangnya punya french Press baru.
Udah sebulan kalo gak salah aku terpaksa minum kopi dari drip machine.
Gak bisa complain sih rasanya, Cuma kayaknya kurang ‘seni’ nya aja.
Dan bikinnya gak bisa dikit2, minimal utk 4 cup lah.
Kalau aku hanya pengen minum satu, sisanya gimana? Ya terpaksa, diminum wastafel.
Sekarang dengan French Press ini, rasa bersalah membuang kopi menjadi minimal. Kecuali kalo gagal brewing nya.

Sebisa mungkin, aku selalu membeli kopi yang freshly grind.
Karena di rumah belum ada burr grinder, aku beli di toko dan minta di giling di sana.
Paling stok kopi di siapkan untuk satu minggu. Biar gak kelamaan di lemari dan kehilangan kesegarannya.
Salah satu yang lagi ku suka adalah Marka D’Oro yang kubeli di clubstore.
Salah satu varian yang disediakan adalah Sumatera – Mandheling.

Aku belum bisa cuap-cuap seperti ahli kopi yang bisa bilang bagaimana rasanya kopi ini, punya hints apa, tapi inilah review “bebas” ku tentang kopi ini yang aku buat pakai French press, di brew selama 4 menit; dan tanpa gula/creamer tentunya:

Aroma kopi Mandheling ini membuat aku membayangkan sebuah pastry yang manis.
Kalau sambil merem, yang aku lihat adalah roti coklat ber balurkan gula bening yang mengkilat. Nah aromanya kayak gitu. Bukan aroma roti ya. Tapi ada ‘kemiripan’ dengan pastry manis itu. Mungkin hints of cinnamon?

Acidity; sangat lembut di lidah, tidak terlalu keras keasamannya. Tapi ledakan rasanya dalam mulut tetap berkarakter kopi kuat. Kuat tapi tidak asam. Mungkin bahasanya medium bodied ya.

Aftertaste nya sih kurang. Abis ketelen ya udah gitu aja gitu…dikit rasa bekas kopinya.
Tapi aku gak keberatan. Abis emang aku minumnya banyak sih.

Sepertinya kopi sumatera mandheling ini akan menjadi salah satu favoritku untuk kopi sehabis makan siang.
Cukup ringan, tapi berasa. Tidak meninggalkan after taste yang lama. Jadi kalau makan lagi atau ngemil yang lain gak sayang. =)

Kalau ada comment mengenai kopi ini, silahkan lo, jangan malu-malu. Benerin aku kalau ada yang salah. ;)

Thursday, February 09, 2006

'Freedom of speech'

Apakah kita pernah benar-benar bebas berbicara?
Kita bebas menuliskan apa saja di mana saja.
Tergantung medianya. Aku bebas memaki siapa saja di blog ku sendiri.
Tapi seperti hal lainnya, kebebasan itu juga berbenturan dengan konsekuensi.

Gak percaya?
Coba saja kamu menuliskan sesuatu yang terang-terang menyinggung orang lain di muka umum.
Kemana tempatmu?
Ke tempat sunyi yang bernama pengucilan.
Kalau kamu lebih terang-terangan lagi,
kamu akan pergi ke tempat berjeruji, penjara.
Kalau kamu melewati batas itu, kamu mungkin akan pergi ke ‘taman batu’ yang akan bertuliskan namamu sendiri.

Dan orang-orang masih melewati batas dan mempermainkan ‘api’ abadi.
Dan orang-orang masih keras kepala terhadap yang Maha Kuasa.
Dan orang-orang masih mengejek.
Dan orang-orang masih tidak peduli.

‘Be cautious of fire alarm, but be more afraid of eternal fire, for the garden of stone is not the end’.

Thursday, February 02, 2006

Mood for Italian's food








Di sebuah restoran Italia di pondok indah yang cukup punya nama, aku dan istri pesan Ravioli a la fiorentina dan Meat balls.
Waktu kita sampai di sana, aku mempunyai ekspektasi yang tinggi.
Sore yang cerah, sekitar jam setengah lima. Pesanan pertama adalah Macchiato.
Well, biasa aja kopinya. Tapi mereka memberikan Bruscheeta yang cukup membangkitkan selera. Gratis. Buat nunggu. Sehabis itu spinach & cheese salad datang.
Ekspektasi naik. Soalnya you can’t go wrong with this salad.
Sedikit olive oil dan vinegar. Semua beres.


Lalu datang lah main course nya.
Kita kecewa.
Meat balls dan garlic breadnya kelihatan mengundang selera. Tetapi suapan pertama biasa saja.
Aku tanya pada istri, Raviolinya enak?
Lumayan, katanya.
Tiga menit kemudian aku belum bisa menikmati makanan itu.
Dan istriku sudah hampir berhenti dengan Raviolinya.

Aku lihat ke sekeliling, beberapa orang asing datang.
Dan ada beberapa lagi yang sudah ada di sana.
Dari yang aku baca di majalah tentang restoran, tempat ini chef nya orang Italy, dan termasuk recommended.
Aku bingung.
Mungkin salah menunya ya.
Atau kita sebenarnya lagi gak mood dengan Italian food? Atau palate kita belum ter-develop untuk merasakan ‘The Real Italian’s Food?’
Bahkan aku merasa, Izzi Pizza was better than this.
Aku tidak bisa mendeskripsikan apa yang salah di menu ku;
Istriku bisa.
Dia bilang, rasanya bosan.Dia berhenti makan setelah seperempat piring ravioli.
Tidak ada keinginan untuk melanjutkan. Padahal diatasnya pakai saus daging dan Raviolinya isi keju.
Tidak ada dorongan untuk suapan berikut.

Aku ingat jaman dulu ketemu dengan Chef di Bale air.
Dia seorang teman. Dan dia masak Spaghetti pakai ang ciu.
Ang ciu itu adalah bumbu semacam rice wine sebagai penyedap di masakan cina.
Aku bingung setengah mati. Kenapa Spaghetti di jadiin Chinese gitu?
Dia bilang…lidah orang Indonesia udah kebiasaan sama yang sangat gurih. Kalau gak di tolong ang ciu, dia bilang Spaghettinya gak ‘nendang.’
Wah. Aku gak ngerti.
Mungkin ini maksudnya waktu itu. Ravioli dan meat balls menjadi membosankan.
Mungkin lidah kita harus belajar lagi. Dengan mencari tempat yang Ravioli dan Meat balls nya enak, untuk perbandingan. Any suggestion?
Seperti layaknya restoran yang baik. Pelayan bertanya di akhir, gimana masakannya?
Kita bilang, mungkin lain kali kita pesan menu yang lain.

Monday, January 23, 2006

Lunch at Shushi Tei, PIM 2


Pertama lihat restoran ini dari luar kayaknya gaya banget deh.
Eksteriornya udah nunjukin kalo ini adalah restoran Jepang modern yang masih berusaha mempertahankan tradisi Jepang dengan ornamen kayu yang ada di mana-mana.

Sampai di depan pintu, kalau kamu beruntung, langsung diarahkan ke tempat duduk. Kalau tidak, ya waiting list, seperti restoran lain yang selalu laku keras.

Interiornya lucu. Ada shushi bar, ada yang agak mojok. Ada smoking, non-smoking. Yang paling asyik sih di dekat kaca menghadap keluar. Meja di tata melingkar mengelilingi poros pondasi lingkaran kecil yang juga merupakan tempat makan di
tingkat atas.
Kalau kamu cewek dan pake rok, jangan makan di atas situ. Nanti orang yang di bawah makannya gak konsen. Sekelilingnya kaca bening bo!

Salah satu kelebihan dari restoran ini adalah pelayan yang terlatih dengan baik, jadi mereka ‘ngeh’ kalau di tanya menu ini isinya apa aja.
Sebel banget kan kalo kita nanya tentang suatu menu merekanya juga gak jelas.
Selain itu, menunya juga dilengkapi dengan gambar. Jadi tinggal pilih yang kelihatannya enak. Trus, sikattt!!

Pertama yang selalu ku pesan adalah Salmon Shushi; Salmon memang ikan yang paling gurih jika dimakan segar. Lihat aja dagingnya yang merah – oranye di selipi garis-garis putih. Nah, garis-garis putih ini yang bikin gurih. Lemak ikan. Nyam. Fresh Shushi is the freshest lunch idea.
Memang Salmon Shushi itu kelihatannya kecil menunya. Satu porsi isi dua, yang ditempelkan ke nasi. Tapi kalau sudah makan 4 piring dan masih laper. Kayaknya kamu punya masalah perut yang lebih ‘lebar’ dari kebanyakan orang Indonesia.

Trus, kalau suasana dingin atau lagi pilek, enaknya pesen udon. Ada beberapa pilihan udon di sana. Ada yang isi daging, seafood, tapi tetep, yang bikin enak adalah udonnya.
Aku selalu ngerasa kalau udon Shushi Tei ini seperti makanan yang memberikan keseruan tersendiri.
Di sediakan di mangkuk kayu dengan sendok kayu. Hangat-hangat, di seruput sehingga berbunyi masuk ke mulut. Makan udon kata orang Jepang harus gitu – karena di tengah mie ini kosong, jadi kuah dan udara masuk ke dalamnya. Bener-bener full flavour kalo makannya kayak gini, asal gak ganggu tetangga aja.

Abis itu kalau masih pengen memasukan sesuatu untuk memuaskan lidah, mungkin bisa memesan desert nya yang bermacam-macam. Tapi favoritnya adalah semacam wafel yang ada es krim coklat di dalamnya. Lihat aja gambar di menunya. Pasti kelihatan.
Aku tidak akan merekomendasikan desert yang merupakan buah beku, Strawberry ice atau semacamnya. Memang tampaknya menarik, tapi rasanya kayak pajangan kawinan di jilat. Alias rasa es batu.

Kalau pesen minuman, pesen yang se-netral mungkin. Kalau aku sih Oca dingin cukup. Karena sayang kalau makanannya enak banget tapi di lidah di bantai dengan minuman yang mempunyai rasa keras seperti Soda, kopi atau yang lainnya. Air mineral adalah yang paling netral.

Setelah kenyang, panggil deh pelayannya dan bayar.
Yang ngeselin, kadang-kadang tissue basah yang di sediakan sudah di masukan ke dalam charge kita. Kalau aku yang punya restoran pasti aku kasih gratis sebagai servis.

A simple visit to this restaurant will give you a comfort soul with full belly and less money in your wallet. Fair trade.

Sunday, January 22, 2006

Etiket Dijamu

Mungkin sebagian dari temen-temen kita, atau pun kita sendiri senang menjamu kompanyon dengan menghidangkan makanan spesial.
Apabila kita dijamu, ada beberapa hal yang harus di perhatikan…supaya orang yang menjamu kita senang, terutama kalau mereka khusus masak untuk kita.
Beberapa hal itu adalah:

  • Mbok ya kalo di kasih piring gak usah di lap lagi. Kecuali emang beneran kotor…nah kalo kayak gini, yang ngejamu/host emang rada-rada…soalnya, kalau kita kebiasaan ngelap piring pemberian si host - kayaknya kita ‘ngecap’ si host sembarangan dan gak pedulian.

  • Kalau si host yang memasak sendiri, inget, pas makanan datang, jangan…I repeat…JANGAN langsung menambahkan garam atau pun merica sebelum mencobanya dulu. Ini bagi sebagian orang adalah penghinaan, karena yang menambah garam dan merica itu seperti menganggap yang masak tidak bisa masak. Keterlaluan. Kalau emang perlu tambah garam atau merica, bilang aja kayak gini,” Hmm enak, tapi aku sih sukanya rada asinan dikit, tambah garam ya?” Nah, kan lebih enak kedengerannya. Itu wajar kok, karena kan selera orang beda-beda. Enak itu relatif. Gak enak itu absolut !!

  • Begitu juga dengan sambel atau saos tomat. Bahkan bagi sebagian orang pemakaian saos tomat dan sambel yang berlebihan bisa dianggap tidak menghargai masakan. Coba deh inget-inget lagi…kalo makan steak pake saos tomat/sambel, yang di rasain daging apa saosnya? Hehehe

Udah segitu dulu kali ya.
Aku rasa etiket ini juga berlaku bagi host nya, kalo masak yaaa harus enak….kalo ngasih piring yaa harus yakin bersih…kalo nggak, ngaku aja dari awal…hihihi…minta piringnya di lap-in, minta di banyakin saosnya karena dagingnya hambar…kalo temen pasti ngerti kok..;p

Friday, January 20, 2006

Forever Summer :)

Enaknya tinggal di Indonesia,
Mataharinya selalu bersahabat.
Rumah ku menghadap ke kiblat.
Jadi kalau sore matahari masuk ke jendela kantor yang terletak di atas.
Segelas fruit punch dingin dan rokok menemani aku menuliskan kata-kata yang terangkai jadi kalimat.
Sering aku menulis tanpa tahu akan jadi apa nantinya.
Mau skenario, script video profile, novel, coret-coretan, apalah...
Kata sebuah buku itu adalah salah satu cara menggali seniman kecil yang ada di dalam diri. Menulis catatan pagi atau catatan harian. Menulis dan menulis lagi.


Apa sih seniman kecil itu?
Jadi gampangnya gini...
Ingat gak dulu waktu masih kecil kita ngerasa bisa buat apa aja?
Yang pengen jadi anak band ngerasa bisa hidup dari musik,
yang pengen jadi aktor merasa bisa hidup dari akting,
yang pengen jadi penulis merasa bisa hidup jadi penulis, dan lain-lain, dan lain-lain.

Tapi gede dikit tiba-tiba kita denger suara-suara pesimis yang memang di desain untuk menguji kita. "Kamu gak bisa hidup dengan ngamen doang", kata Papa.
"Kamu mau hidup gak ketentuan?Gak punya gaji tetap?" kata yang lain lagi.
"Kamu itu harus kerja di perusahaan gede, biar safe".

Hihihi, sering kan denger yang kayak gini?
Mungkin mereka benar.
Mungkin juga salah.
Tergantung Allah yang menentukan apa yang terbaik buat kita.
Tapi kan bisa memilih?! Ya kan?
Kita bisa memilih kita akan mematikan seniman kecil itu dengan perkataan negatif yang sering kita dengar atau kita dapat tetap menjaganya tetap hidup.

Gimana caranya buat seniman kecil itu tetep hidup?
Tetep kreatif lah, kreatif butuh bensin dan api. Cari sendiri apa api dan bensin-mu.
Bagi sebagian orang api-nya musik, bensinnya film. Bagi orang lain lagi api-nya cewek, bensinnya nafsu. Macem-macem deh.
Kalau aku, menuliskan coret-coretan di buku sampul kulit hitam ku dan jalan-jalan mengamati orang-orang udah cukup. Apalagi kalo bisa lihat sesuatu yang inspiring.

Memang yang menentukan bukan kita, tapi kan yang berusaha harus kita.
Jadi...
Biarlah paradigma "lama" itu tetap bersama mereka.
Siapa tau dogma baru kita yang lebih baik untuk kita.
Niat.
Kerja keras.
Usaha.
Sementara itu, toh kita tetap mengalami musim panas yang selalu menyenangkan.
Indonesia gitu loh..
Gak ada musim salju, gak ada daylight saving, gak ada kesulitan.
Paling-paling BBM naik, listrik naik, dollar naik, big deal...what's new?
Rejeki kan bukan dari perusahaan atau pekerjaan...
Tapi dari yang Maha Kaya.

Forever summer buddy!
:-)
rock on rockers...write up writers...in to the lights actors...grab your camera,...roll camera,....and...action.

You'll have the story of your life. Your forever summer :-)



Cara buat Cappucino tanpa Espresso Machines



Dulu aku gak bisa minum kopi.
Tiap minum kopi bawaannya deg-degan dan pengen muntah.
Ternyata itu semua gara-gara kopi instant (Sorry Nescafe…just don’t like you ajah)
So…akhirnya seorang teman ngasih tau gimana caranya minum kopi yang bener.
Waktu aku memutuskan untuk tidak minum alcohol lagi. Aku tukar dengan kopi.
Kopi beneran. Kalo bisa yang baru di grind biar fresh. Kalau nggak, yah untuk ukuran aku sih kopi bubuk Marka d’Oro atau Kopi Flores juga boleh.

Gimana cara buat kopi tanpa espresso machines?
Ada beberapa alternatif:
  • Pake ceret dan gelas (seperti biasa – bolehlah, cuma banyak ampasnya bos!)
  • Pake moka pot dan vacuum coffee maker (gak tau, kayaknya enak, tapi belum punya)

  • Pake auto-drip coffee machine ( ok nih, kalau mau bikin banyak)

  • Pake French press ( nah ini favorite gue sekarang)

Apa sih French press?

Bentuknya kayak pajangan.
Gelas kaca dengan pegangan, ditutup dengan press kit yang terdiri dari saringan, pegas dan tongkat penekan.
Cara kerjanya adalah, press kit ini menekan ampasnya ke bawah dan meninggalkan kopi murni tanpa ampas diatasnya. Nah, itu cara pinter bikin kopi dari jaman dulu.

Gimana langkah-langkah buat kopinya?
  • Pastikan French press yang dipakai bersih dari sisa-sisa kopi atau apapun. Makin bersih makin enak kopinya

  • Masukan satu sendok takar kopi favorit (sekali lagi, jangan yang instant!), trus biarin aja dulu

  • Didihkan air, trus setelah mendidih biarkan selama 20 detik (karena air yang terlalu panas akan over extract coffee itu, jadinya terlalu pahit)
  • Tuang air ke dalam French press. Aduk pake sumpit atau sendok. (kalo jadi kopinya, baru adukan ke tiga aja udah muncul semacam krem coklat. Ini yang orang italy bilang krema, orang amerika bilang bloom – tapi ingat, ini bukan krema beneran, krema beneran bisanya pake espresso machines)
  • Tutup, dan biarkan 2 menit, kalo buru buru ya 30 detik aja
  • Abis itu press kitnya di tekan, jangan keras-keras, nanti muncrat. Pake aja berat tangan kamu sendiri.
  • Jadi deh.

  • Tuang pelan – pelan ke cangkir favorite.

  • You have yourself a nice cup of coffee.

  • Tambah gula kalo mau, trus aduk. Jangan nyimpen sendok di dalam kopi. Nanti panasnya pindah ke sendok.

Gitu
Lah katanya cappuccino, itu mah black coffee@!?

Oh iya…hehehe
Setelah jadi black coffeenya. Baru deh ada langkah-langkah menjadikannya Cappuccino:
  • Panasin susu beneran (indomilk will do)
  • Tuang ke wadah yang agak tinggi

  • Masukin mixer kecil, putar sampai berbuih…jadilah foam susu (kalo beneran mustinya pake uap panas)
  • Tuangkan ke black coffee tadi, dan tambahkan cinnamon powder.
  • Jadi deh

Maaf bagi penikmat kopi yang hard core, ini emang bukan cappuccino beneran..liat aja judulnya. Orang gak pake espresso machines kok.
Tapi coba deh, it will make your day.

After all, it is the wine of Islam.

Mau apa?


Masih ingat rasanya hari terakhir di Ad Agency multi national yang terkenal itu.
Semua tampak indah dari jendela besar ku.
Ya. An Office with a view of Sudirman street from 26th floor. I used to have that ;).

Senyum melulu, sepertinya bakal kangen sama teman-teman di kantor, kangen gosipnya, kangen candaannya, kangen sibuknya, kangen kliennya.

Tapi sudahlah, toh aku tidak akan bisa tulus bekerja untuk perusahaan itu.
Aku ingin punya sesuatu sendiri.
Untungnya aku bisa.

Sekarang sudah kira-kira 2 tahun lebih kantor yang berada di atas rumahku ini berjalan.
Ada naik-turunnya, meski gak bisa dibilang roller-coaster ride.
Aku melihat sekililing.
Rumah yang baru saja dibobol maling untuk kedua kali ini tampak damai dan indah dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela berteralisku.
Aku bersyukur ada di sini. Bukan di lantai 26 itu.

Sekarang apa lagi mau ku?
Aku sangat suka menulis, nonton dan memasak.
Dan sepertinya aku termasuk orang yang tidak terlalu percaya dengan bakat.
Aku lebih percaya dengan takdir dan determinasi.
Kalau memang sudah diusahakan dan ditakdirkan, mungkin semuanya akan kesampaian.
Jadi mau apa sekarang?
Mau buat film lagi? Mau publish novel? Mau bikin restoran atau kedai kopi?

Film pendek baru dua, film dokumenter baru dua.
Novel? Restoran?
Mungkin nanti akan ada waktunya.

Untungnya setiap hari aku bisa menulis. Setidaknya di blog ini dan di project yang aku dapat untuk production house ku.
Untungnya setiap hari aku bisa bisa memasak, dan memikirkan apa ya "today special" di menu rumah ku hari ini.

I think it is safe for me to say that I have been following my dreams.
:)
Wish you are too.
All of you.