Wednesday, June 28, 2006

Dunia Paralel : sebuah mimpi kehidupan linier asimetrik






Oleh: Nurman Priatna
Copywriter Ogilvy & Mathers, Moderator Bunga Matahari, Poet


Micki Mahendra, sahabat saya sesama pemimpi dan penulis, meluncurkan novel pertamanya "Dunia Paralel". Salut, adalah hal yang pertama saya sampaikan, akhirnya pecah juga telur karirnya di bidang sastra.

Lalu apa? Awalnya, saya hanya ingin jadi penikmat kata-kata belaka. Tapi karena diminta secara pribadi, terlebih karena buku untuk saya adalah novel pertama yang Micki tandatangani, jadilah saya belajar untuk mengulas buku untuk yang pertama kali.

Tema yang diangkat Micki sebenarnya sangat sederhana; tentang cinta. Dalam novel ini, cinta yang dikisahkan adalah cinta yang terbatas ruang dan waktu.

Tokoh utama, Vian, sutradara wanita muda yang sedang menggarap film cerita pertamanya. Suatu hari ia terjebak di bandara karena penerbangannya ditunda. Saat itu hidupnya bertabrakan dengan Medi, seorang penulis novel yang juga tertunda keberangkatannya. Pertemuan hari itu berkesan, namun mereka berpisah menuju tujuan masing-masing. Tahun berikutnya mereka bertemu lagi dan baru lah cerita cinta mereka bergulir.

Konsep "Dunia Paralel" adalah pemikiran yang ditawarkan novel ini. Miris ketika akhirnya kedua kreator film tersebut adalah mereka yang mencoba percaya bahwa di dunia paralel itu, cinta mereka bisa kesampaian. Sayangnya konsep yang menarik ini tidak benar-benar digarap sebagai sentral cerita.

Cara bertutur Micki yang menggunakan alur mundur-maju rasanya cukup baik, cukup sederhana dan tidak mengganggu jalannya cerita. Pilihan kata-kata yang ringan sepertinya cukup efektif, tak terlalu banyak bunga-bunga namun tetap puitis di banyak bagian. Dinamika penulisan cukup asyik, karena cara Micki membuka satu kejutan ke kejutan lainnya terasa cukup halus tapi tetap menggigit, terutama menjelang akhir.

Struktur logika novel ini rasanya cukup baik, namun saya mempertanyakan sedikit mengenai ide “Dunia Paralel” yang sebenarnya milik Medi, sebagaimana diceritakannya kepada Vian di awal cerita. Tapi setahun kemudian justru Vian yang menggarap film bertema tersebut, dan Medi bersedia membantu pengembangan naskahnya tanpa merasa keberatan. Kalo saya sih, mungkin sudah merasa kecolongan secara intelektual. Boro-boro membantu, malah bisa-bisa saya tuntut si Vian itu. Hehehe.

Sebagai novel pertama, saya rasa Micki bisa tampil dengan gaya penulisannya sendiri. Kalem dan santun, seperti orangnya. Sejauh ini kesan akhir yang saya dapatkan dari novel ini, masih terasa “aman”. Tapi saya yakin masih banyak kejutan yang ia simpan di dalam kepala dan komputernya. Mungkin ia simpan untuk novel-novel berikutnya.
Selamat sekali lagi Mick, membacanya saya merasa bangga sekaligus terhibur. :)

Salam,
Nurman

1 comment:

Unknown said...

Mick.
Gue link yah ke blog gue.

Kalo mau sebaliknya, monggo aja...

Thxxxx!